Oleh Prasetyo Nugraha
“Kafir itu Politis bukan Teologis” karangan Prof Dr Sumanto Al-Qurtuby sangat menarik dikaji dan dapat menyita waktu bila ditelaah dalam tiap bait tulisannya, betapa tidak dengan isu sentral aksi penistaan agama yang dilakukan calon petahana DKI Jakarta, Ahok menjadi blunder berupa persatuan gerakan ummat yang tidak halnya berskala Ibu Kota tapi telah menasionalisasi menjadikannya sebagai common enemy, musuh bersama.
Dari dasar argumentasi diatas menyingkap secara kontekstual sebuah ajaran bernama “toleransi” yang pure lahir dalam teks dan konteks ajaran Islam. Seperti dalam Siroh Nabawiyah, Muhammad SAW bersama para sahabat pernah berlindung dan dilindungi oleh kaum Nasrani (Kristen) yang dipimpin Ashama Ibn Abjar atau Najashi, Raja Askum (kini Ethiopia) dari kejaran para “begundal Mekah” yang dipimpinan Abu Jahal dan Abu Sofyan. Atas jasa kaum Nasrani tersebut Nabi Muhammad menyerukan untuk terus menjalin relasi positif, hubungan literal dan bilateral serta malarang berperang dengan kelompok mereka.
Dalam konteks keBhinnekaan berbangsa dan bernegara, kelompok muslim telah mempraktekkan sikap toleransi sepanjang sejarah jauh dari sebelum Indonesia merdeka. Menyikapi gerakan anti penistaan agama saat ini tentu konteks yang dipaparkan Al-Qurtuby tersebut “serupa tapi tak sama”. Ketidaksamaan berupa pelecehan terhadap Al-Quran dengan kata-kata “jangan dibohongi pake Al-Maidah 51” (kata Ahok). Tentu perkataan tersebut mencederai dan melukai kelompok-kelompok yang mempercayai dan mempedomani Al-Maidah sebagai salah satu surat dalam Al-Quran sebagai kitab suci Umat Islam.
Selain itu, dalam sejarah juga sering mencatat bahwa sering sekali terjadi penghinaan atau lazim di Indonesia dinamakan penistaan agama. Salah satu contoh di masa Ibnu Taimiyah, dimana seseorang dimasa itu melakukan penistaan agama, sehingga Ibnu Taimiyah merasa geram dan melakukan gerakan protes kepada penguasa (pemerintah) agar orang yang menistakan agama dapat diadili. Namun alih-alih sipenista diadili malah Ibnu Taimiyah yang dimasukkan ke dalam jeruji besi oleh pemerintah. Dalam balik jeruji inilah Ibnu Taimiyah sengaja menulis bukunya berjudul As-Shalih Min Mashul Ala Syatimi Rosul.
Dari sejarah Ibnu Taimiyah inilah menurut penulis mirip dengan kancah gelanggang gerakan anti penistaan agama yang rencana akan digelar 4 November 2016 sebagai aksi bersama mengawal putusan hukum yang akan ditetapkan.
Melanjutkan cerita Ibnu Taimiyah yang concern dalam kitab yang ditulisnya. Singkatnya, meski Ibnu Taimiyah dijebloskan dalam penjara namun gejolak kemarahan ummat tidaklah padam, sehingga pada suatu ketika orang yang melakukan penistaan tersebut dibunuh “seseorang” secara mengenaskan. Itulah sebabnya Ibnu Taimiya mengarang Kitab As-Shalih Min Mashul Ala Syatimi Rosul yang artinya “Pedang terhunus bagi penghina Rasul”.
Tentu kita tidak berharap tanggal 4 November akan ada penangkapan terhadap para pengunjuk rasa (meski secara sejarah Ibnu Taimiyah terjadi). Dan kalau itu sampai terjadi maka dampaknya akan lebih buruk bagi keidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Akhirnya segenap anak bangsa masih menaruh harap akan kebijaksanaan pemerintah. Terlebih Joko Widodo – Jusuf Kalla memiliki sembilan agenda prioritas yang disebut dengan Nawacita dengan poin pertama dari Nawacita itu adalah menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa, memberikan rasa aman dan memberikan kepastian hukum kepada seluruh warga negara.
Maka dari itu dan demi menyikapi itu semua, bukanlah banser atau watercanon solusinya, tetapi kehadiran negara dengan menegakkan hukum setegak tegaknya dan dengan menjalankan prinsip setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum.
Sebagai sesama warga negara tidak perlu berpolimik dan memperdebatkan kasus Ahok ini politis atau teologis. Karena kalau dikatakan politis ini memang masa politik karena Pilkada DKI tinggal menghitung hari dan kalau dikatakan teologis memang teologis karena ini menyangkut aqidah, kitab suci.
Maka win-win solutionya dan demi keutuhan NKRI, Hukum harus ditegakkan.
